DREAM IS DREAM


SELAMAT DATANG SAHABAT BLOGER

Kamis, 22 September 2016

Makna Harakiri pada Zaman Dahulu dan Sekarang di Jepang

Harakiri kerap dilakukan para ksatria untuk menebus rasa malu atas kegagalan mereka.

Sejak dahulu Jepang memang sudah dikenal dengan budaya dan tradisinya, dan Harakiri adalah satu satu tradisi dan budaya zaman dahulu Jepang yang sangat terkenal sampai sekarang. Harakiri dalam bahasa Indonesia berarti memotong perut, namun orang Jepang biasa menyebutnya dengan seppuku. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke-12 di Jepang yang dilakukan oleh para ksatria atau samurai.
Makna Harakiri pada Zaman Dahulu dan Sekarang di Jepang
Para samurai ini biasanya melakukan harakiri ketika mereka kalah dalam pertempuran. Filosofinya adalah “lebih baik mati daripada harus menjadi anak buah atau budak sang musuh”. Alasan lain para mereka melakukan harakiri adalah ketika mereka gagal menjalankan tugas yang diberikan. Sebagai bentuk tanggung jawab pada pemimpin dan untuk menghilangkan rasa malu, mereka melakukan aksi bunuh diri yang menurut mereka adalah mati dengan terhormat.
Bukan hanya ketika tertangkap musuh atau gagal melakukan tugas, para samurai juga kerap melakukan hal ini sebagai bentuk protes kepada sang pemimpin. Di tahun 1873 setelah restorasi Meiji, budaya ini sebenarnya sudah dihapuskan. Tradisi ini dinilai bisa memicu semua orang Jepang yang melakukan kesalahan untuk membunuh dirinya sendiri.
Meski sudah dilarang, masih banyak orang Jepang yang tetap melakukan harakiri seperti beberapa anggota militer yang melakukan bunuh diri sebagai protes ke pemerintahan baru untuk menolak dikembalikannya wilayah Tiongkok setelah meninggalnya Kaisar Meiji.
Di zaman modern, budaya harakiri masih kental meski dalam konteks yang berbeda.  Di tahun 2010, Yukio Hatoyama, yang ketika itu menjabat sebagai Perdana Menteri, mengundurkan diri setelah popularitasnya menurun drastis karena keputusan mempertahankan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa.
Makna Harakiri pada Zaman Dahulu dan Sekarang di Jepang

Karena merasa gagal di mata masyarakat, Yukio Hatoyama memilih mengundurkan diri meski baru menjabat sebagai Perdana Menteri selama sembilan bulan. Banyak yang menilai hal ini adalah “hara-kiri” meski dengan cara yang berbeda.
Naoto Kan yang dipilih sebagai penggantinya juga melakukan “harakiri” pada 26 Agustus 2011. Alasannya pun sama karena ia merasa gagal. Saat itu Jepang dilanda krisis nuklir pasca gempa besar dan tsunami yang melanda negeri Sakura tersebut.
Tidak lama berselang, Menteri Industri Yoshio Hachiro mengundurkan diri setelah menyebut daerah sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima sebagai “kota kematian”. Hal yang membuat ia mendapatkan kecaman dan lengser dari jabatan yang baru dipangkunya selama delapan hari.
Tadahiro Matsushita, Menteri Jasa Keuangan, bahkan melakukan harakiri tradisional ketika ia ditemukan bunuh diri pada 11 September 2011. Harian Mainichi Shinbun melaporkan jika ia bunuh diri karena skandal perselingkuhan. Mungkin karena merasa malu, Tadahiro Matsushita memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Budaya dan tradisi suatu bangsa yang sudah mengakar memang sangat sulit untuk dihilangkan. Meski sekarang dilakukan dengan cara yang berbeda, harakiri nampaknya akan selalu ada di Jepang.

The Daily Japan / Redaksi